SPIRITUALITAS TUBUH
berdasarkan  Pengajaran Paus Yohanes Paulus II tentang Antropologi Kristiani




PENGANTAR

Hidup religius di seluruh dunia mengalami krisis – banyak yang ke luar, sedikit yang masuk, komunitas dan tarekat menjadi tua, kaum muda yang masuk kurang keyakinan, kurang komitmen, kurang daya membatinkan nila-nilai dan bertekun. Hidup religius semakin kurang dihargai oleh umat, semakin ditantang dan dikritik, disoroti dan dicurigai. Keluarga-keluarga lebih kecil, kesempatan maju lebih banyak, orang muda tidak perlu masuk biara untuk meningkatkan status mereka. Siapakah ingin meninggalkan segalanya? Semua orang ingin memiliki semakin banyak.

Unsur hidup kita yang paling dipertanyakan dan dipermasalahkan adalah hidup selibat. Pengaruh dunia sekulir melanda Gereja. Kita harus belajar membedakan suara Tuhan, suara Gereja dari suara-suara dunia modern yang sangat berlawanan. Mana yang kita ingin ikuti? Selama ini banyak orang Kristiani – termasuk religius - telah menyesuaikan diri dengan sekian banyak tawaran dunia tanpa menyadari bahwa iman kita mempunyai dasar yang lain. Maka hidup Kristiani tercampur dengan pengaruh yang lain, keyakinan iman menurun, hal-hal menjadi relatif. Sering kaum religius merasa bingung atau cemas, bersikap reaktif dan defensif. Kadang-kadang Gereja merasa minder – seolah-olah kita tidak punya apa-apa untuk mengerti seksualitas dan harus belajar dari dunia dan psikologi modern.

Kita perlu menemukan kembali arti mendalam dari karisma selibat, spiritualitas indah dari keperawanan demi Kerajaan Allah: undangan untuk mengalami kesatuan intim dengan Yesus Kristus yang merupakan kebahagiaan manusia yang terdalam – yang ditawarkan kepada kita dengan cuma-cuma. Kita harus kreatif dan mampu mengungkapkan apakah artinya hidup selibat dan menghayati seksualitas/afektivitas dalam bentuk religius yang lebih berarti.
Akan tetapi untuk menemukan harta tak terungkapkan itu, kita harus dengan tekun dan tegas melawan arus dunia dengan iman yang jelas.







I   MASALAH

‘Consecrated celibacy’ dalam hidup religius dan imamat adalah pilihan alternatif yang berlawanan sama sekali dengan arus dunia modern. Sekarang dunia mengatakan bahwa yang paling penting adalah hidup seksual yang aktif dan bebas, dalam arti kata: seseorang tak bisa menjadi manusia yang utuh dan hangat dalam relasi tanpa pengalaman seksual yang genital. Dunia merasa bahwa selibat merupakan represi kebutuhan seksualitas yang tidak sehat. Dunia meremehkan selibat dan mau membuktikan bahwa dengan sendirinya bentuk hidup selibat akan mengakibatkan kompensasi secara diam-diam dan tidak halal, akan menyebabkan relasi yang destruktif, manipulatif. Setiap skandal dianggap sebagai bukti nyata. Setiap skandal juga menggoncangkan pikiran orang-orang selibat yang lain dan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan: “Kalau terjadi begitu pada dia, bagaimana saya?  Apakah selibat itu tidak mungkin? Apakah betul bahwa setiap orang perlu pengalaman seksual untuk menjadi manusia yang dewasa dan berkembang? Apakah betul bahwa orang selibat hanya melarikan diri dari seks, tanggung jawab, kenyataan? Apakah niat saya tidak realistis?” Mentalitas dunia sangat mempengaruhi kaum muda yang menghindari panggilan religius karenanya.

Untuk bicara tentang pilihan dan penghayatan virginitas, kita harus menghadapi perasaan dan pikiran kita tentang seksualitas. Kadang-kadang kaum religius merasa bahwa mereka meninggalkan seksualitas mereka waktu masuk biara. Seolah-olah menjadi religius meniadakan seksualitas... orang menjadi netral - bukan lagi perempuan atau laki-laki.  Dipikirkan bahwa dengan menyangkal diri, kodrat kita ditiadakan. Mungkin mau menjadi suci maka tidak boleh menikah, harus menjadi  suster/bruder/imam.... Hidup di dunia itu jahat, saya hanya mau yang spiritual…. Mau menjadi malaikat tanpa tubuh. Pikiran semacam ini adalah pelarian dari kenyataan kita dan akan menyebabkan banyak masalah dan frustrasi. Kalau kita tidak mengerti dan menerima seksualitas kita, pasti dalam cara-cara tertentu, kita akan sangat dipengaruhi oleh hal-hal yang tidak disadari. Kita bisa menipu diri sendiri atau ditipu oleh orang lain. Kita bisa kehilangan arah dan panggilan.  Kalau kita mencari ilusi spiritual yang menolak kenyataan manusiawi, kita akan mengalami gangguan dari seksualitas yang kita tolak.  Jika seorang jatuh dalam kesombongan rohani, besar kemungkinanannya akan lebih mudah mengalami godaan  sexual.

Kalau selibat dilihat sebagai hidup rohani yang lebih tinggi, maka hidup pernikahan dianggap lebih rendah dari pada selibat yang suci murni - seolah-olah kemurnian terletak dalam badan. Tetapi kita tidak bisa berpikir seperti itu lagi. Dalam Konsili Vatikan II, Gereja menyatakan sekali lagi bahwa seluruh ciptaan itu baik, cinta kasih manusia baik, semua orang dipanggil kepada kesucian. Pengalaman seksual dalam pernikahan adalah jalan sah kepada kesucian. Kaum religius kadang-kadang akan bepikir reaksi: “Kalau semua baik dan pernikahan itu suci, mengapa menyangkal itu untuk hidup selibat? Kalau selibat tidak lebih tinggi dan suci, mengapa kita memilihnya? Mengapa harus setia?”  Itulah pertanyaan yang mendesak sekarang: mengapa kita memilih hidup selibat, bagaimana menghayatinya, manakah spiritualitas dan teologi mistik yang menjiwainya? Bagaimana pilihan itu menjadi mantap dan bukan sebuah kompromi di mana meskipun selibat, orang merasa bebas untuk menjalankan relasi intim dan seksual – eksplisit atau tidak – dengan orang lain, bahkan dengan lebih dari satu? Pertanyaan para novis / frater bukan lagi ”Bagaimana saya dapat menjaga kemurnian sesempurna mungkin?” melainkan “Seberapa jauh saya bisa berelasi dengan lain jenis tanpa salah?”

II.   KONTEKS : Dari Dualisme ke Hedonisme

Dalam sejarah manusia, sering kali hal rohani dan hal fisik dipisahkan dalam ‘dualisme’ yang tidak benar dan tidak sehat.  Hal materi atau fisik dianggap jahat dan hal rohani dianggap baik dengan memikirkan bahwa kita perlu dibebaskan dari materi untuk mencapai yang spiritual.  Pikiran dianggap lebih penting dari pada perasaan. Emosi dianggap hal yang buruk dan berbahaya. Ungkapan afektivitas dianggap sebagai sikap kekanak-kanakan. Seksualitas dilihat sebagai sesuatu yang mencemarkan dan dirasakan sebagai sesuatu yang jelek dan kotor, sebagai kelemahan yang memalukan. Wanita dilihat sebagai orang yang kurang murni, najis dan menggoda pria. Oleh karena itu, baik wanita maupun pria perlu mengontrol segala tindakan badaniahnya masing-masing agar semua energi tubuh dikendalikan: sistem sopan-santun di setiap kebudayaan menjaga relasi-relasi antar lawan jenis agar jarak dipertahankan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. 

Sejak Freud, dunia menganggap pengalaman seksual bukan lagi sesuatu yang memalukan melainkan sesuatu yang mutlak perlu dinikmati tanpa malu agar kita dibebaskan dari penindasan tabu dari zaman dulu. Lewat dari satu ekstrim ke ekstrim yang lain. Sekarang dikatakan bahwa semua masalah psikologis berasal dari represi akan kebutuhan seksualitas. Maka dalam pandangan dunia, selibat merupakan represi kebutuhan seksualitas yang tidak sehat, suatu peninggalan dari masa lampau saat agama dan tabu menindas kebebasan manusia.  Media masa mewartakan tubuh sebagai alat nikmat: arti hidup adalah mencari keenakan dalam cara apa pun yang diinginkan. Itulah kebebasan yang dijunjung tinggi. 

Umat Kristiani juga telah jatuh dalam dualisme tersebut dan sering kali muncul bayangan tentang hidup spiritual yang berlawanan dengan hidup berkeluarga. Untuk hidup spiritual, kita harus hidup seolah-olah tidak punya tubuh. Menjadi suster berarti menjauhi laki-laki, tidak mau berhubungan dengan pria, takut dengan pria – kecuali para imam yang dianggap ‘safe’ - tetapi sering kali sama sekali tidak ‘safe’. 

Semuanya itu berubah dengan Vatikan II. Tetapi mungkin juga tidak.  Mungkin masih ada perasaan yang mirip dengan dulu secara tersembunyi.  Misalnya mungkin ada perasaan tertarik yang mengganggu sehingga orang lain jenis dihindari, tidak dipandang.  Atau ada perasaan dalam tubuh sendiri yang tidak dimengerti, tidak dapat dikontrol, yang muncul tanpa kehendak sendiri. Mungkin masih ada perasaan tabu memikirkan hal-hal tersebut, apa lagi membicarakannya.  Maka dipendam lagi, karena merasa salah, merasa dirinya jelek, takut, dsb. Kalau begitu ada kemungkinan besar bahwa perasaan itu akan mengganggu lagi. Kalau seksualitas kita tidak dibicarakan dan diintegrasikan dalam hidup kita, akan tetap dirasakan sebagai sesuatu yang memalukan, mengganggu, menakutkan, malahan menghambat atau mengancam hidup spiritual.  Untuk melepaskan rasa salah dan bingung, para religius mulai berkompromi dengan arus dunia karena tidak pernah mendalami arti sekualitas/tubuh secara Kristiani.

Banyak di antara kita tidak pernah menerima penjelasan tentang seksualitas yang baik, positif, apa lagi indah.  Di dalam keluarga, sering kali semuanya itu dianggap tabu dan tidak boleh dibicarakan sehingga kita harus belajar sendiri dengan rasa malu-malu. Hal yang tidak boleh dibicarakan di keluarga, jelas dianggap sesuatu yang tidak baik, tidak pantas. Generasi muda pun jarang menerima penjelasan Kristiani tentang seksualitas langsung dari orang tua. Mereka mendapat pendidikan seksual di sekolah tetapi sering kali hal itu merupakan pengalaman negatif karena dibuat dalam suasana yang kaku dan penuh kecurigaan di mana remaja laki-laki dan perempuan saling mengejek dan menertawakan. Kemudian mereka mengalami kebudayaan kebebasan konsumerisme, hedonisme. Bagaimana mereka akan menemukan nilai-nilai kemurnian?

Kalau tubuh bukan sesuatu yang buruk dan bukan alat untuk mencari nikmat, apakah tubuh itu sebenarnya?

III.  TUBUH MANUSIA

Yang paling konkrit tentang hidup kita adalah tubuh kita. Kita mengungkapkan diri dan menyerahkan diri melalui tubuh kita, melalui tindakan-tindakan konkrit. Hidup spiritual bukan sesuatu yang abstrak, terpisah dari hidup manusia. Kita bukan malaikat dan tidak pernah akan menjadi malaikat. Tubuh tidak melawan jiwa, yang material tidak melawan yang rohani. Sering kali kita berpikir begitu: bahwa tubuh memberatkan jiwa, menghambat hidup spiritual, bahwa yang jahat berasal dari tubuh sedangkan roh itu baik dan hanya mau yang baik.  Bayangan semacam itu masih merupakan 'dualisme'. Itu bukan pandangan Kristiani. Kodrat manusia adalah tubuh yang dijiwai oleh kesadaran akan diri sendiri dan kemampuan untuk memilih dengan bebas. Kita akan memiliki juga pada saat kebangkitan dalam hidup kekal. Tubuh kita akan dimuliakan. 

Kita sering tidak menyadari bahwa kita adalah tubuh kita. Tetapi semua relasi kita dengan dunia sekitar kita terjadi melalui tubuh kita, melalui indera kita, melalui kemampuan kita untuk mengenal melalui apa yang diraba, dilihat, didengar, dicium.  Otak tidak bisa mengenali apapun tanpa indera. Hati tidak bisa tersentuh tanpa indera. Juga Allah hanya bisa dikenal melalui indera.  “Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami tentang Firman hidup--itulah yang kami tuliskan kepada kamu.” (1Yoh 1:1)

Tubuh kita adalah cara kita menghadirkan dan mengungkapkan diri - juga pada saat kita tidak menginginkannya.  Melalui ‘body language’, bahasa tubuh, kita berbicara terus dan orang lain dapat mengetahui perasaan kita.  Tubuh kita mempengaruhi kita dalam segala hal, baik dalam relasi dengan orang lain maupun dengan diri sendiri dalam lubuk hati kita yang terdalam. Kita berkomunikasi melalui tubuh, kita bekerja melalui tubuh. Tubuh yang menjadikan diri saya seorang individu yang dikenal dan bisa dibedakan dari orang lain. Tubuh saya membawa tanda-tanda hidup dan sejarah saya B ras, warna, bentuk mata dan hidung dan telinga. Tak ada orang dengan sidik jari yang sama B tubuh kita mewartakan keajaiban karya ciptaan Allah: setiap orang unik.

Tidak ada hidup spiritual yang terpisah dari hidup jasmani. Jiwa berada di dalam tubuh kita untuk menjiwainya. Jiwa dan raga kita begitu menyatu sehingga sulit sekali menentukan batasan antara keduanya. Jiwa hanya tampak melalui tubuh dan tubuh menginteriorisasikan semua tindakan dan pengalaman sampai menjadi jiwa. Kita dapat belajar dari tubuh kita; sebetulnya yang kacau adalah jiwa! Aku-tubuh-roh tak bisa dipisahkan, hadir dan bergerak dalam semua tindakan dan pikiran dan perasaan kita. Sekaligus tubuh adalah kenisah Roh Kudus. Kita adalah Tubuh Kristus.  Maka tubuh harus dihormati sebagai kehadiran sakral diri saya dan kehadiran Tuhan di dalam saya. Akan tetapi banyak orang merasa tubuh mereka jelek. Ada pengaruh penilaian dunia tentang apa yang cantik dan ganteng. Kalau kita menolak tubuh kita, kita membenci diri sendiri, kita tidak bisa menerima diri atau mencintai orang lain.

Dengan pilihan keperawanan, kita memberi tubuh kita kepada Tuhan - artinya semua tenaga, kemampuan fisik dan intelektual, semua emosi, pikiran dan perasaan, semua waktu dan seluruh kehadiran pribadi kita - karena kita menghadirkan diri melalui tubuh kita. Kita taat pada Tuhan melalui tubuh kita. Kita belajar hadir pada orang lain dan pada Tuhan.


IV  SELIBAT– KEPERAWANAN

Kita perlu memperhatikan kata-kata yang biasanya kita pakai tentang bentuk hidup kita: kata ‘selibat’, kata ‘kemurnian’ dan kata ‘keperawanan’. Kata ‘selibat’ hanya berarti ‘tidak menikah’ – suatu cara negatif untuk mendefinisikan cara hidup. Banyak orang hidup selibat tanpa alasan spiritual. Mungkin mereka selibat untuk membaktikan diri kepada sesama dalam karya sosial yang luhur tetapi juga bisa dipilih untuk alasan egoistis – karena karier, karena tidak mau membagikan hidup dengan seseorang dalam kesetiaan, tidak mau bertanggung jawab, mau bebas, atau bahkan karena tidak pernah membuat suatu pilihan. Orang selibat belum tentu menghayati keperawanan.

Selibat dalam agama lain dihayati sebagai askesis untuk menguasai tubuh, biasanya dengan pengaruh dualisme. Bagi kita, hidup selibat dipilih ‘demi Kerajaan’, demi cinta kasih Kristus yang lebih besar dari pada cinta kasih manusia mana pun, sebagai sarana untuk menuju kepada keperawanan spiritual di mana kita tidak mencari diri sendiri melainkan hanya Kristus. Dalam bahasa Latin, kata ‘virgin’ tidak dibatasi untuk kaum perempuan. Dalam Tradisi Gereja, ‘virginitas’ adalah nilai spiritual untuk laki-laki dan perempuan. ‘Virginal’ berarti ‘utuh’ dan tidak mengacu pada sifat badaniah/biologis saja. Virginitas adalah pemberian diri secara total kepada Kristus. Virginitas adalah ‘keutuhan’ dari pemberian diri itu. Virginitas tidak menutup diri, tidak membela diri melainkan merindukan masuk dalam pengalaman pernikahan mistik Gereja dengan Dia. ‘Selibat demi Kerajaan’ bukan masalah biologis/seksual belaka (dalam arti tidak pernah bersetubuh) melainkan pilihan bebas sebagai sarana untuk menghayati suatu relasi dalam keterbukaan radikal dengan Kristus.

Maka istilah keperawanan atau virginitas lebih cocok karena artinya langsung bersifat religius, spiritual dan transendental. ‘Consecrated celibacy’ berbunyi dengan bagus dalam bahasa Inggris tetapi terjemahannya kurang memadai. Perlu dikatakan ‘selibat yang dikuduskan’ atau ‘selibat demi Kerajaan’. Akan tetapi sekarang kita lebih jelas tentang apa yang kita maksudkan bila kita memakai kata ‘selibat’  saja.
Sedangkan ‘kemurnian’ adalah nilai dan keutamaan yang perlu dihayati oleh semua orang Kristiani, baik dalam hidup berkeluarga maupun dalam hidup keperawanan religius. Kalau kata itu dipakai untuk kaul virginitas, kita memberi kesan bahwa kita menganggap hidup pernikahan tidak murni. Janji-janji pernikahan juga merupakan janji kemurrnian.

V   KEMURNIAN

Gereja mengajar bahwa semua orang Kristiani – sebetulnya semua manusia – dipanggil untuk meningkatkan seksualitas badaniah kepada dimensi relasional yang tulus dan utuh: cinta kasih pribadi dalam semua bentuknya. Tetapi karena kekacauan yang diakibatkan dalam diri kita oleh dosa – pilihan diri sendiri,  egoisme, autonomi – maka perlu rahmat dan karya Roh Kudus untuk mengalirkan dorongan seksual kepada relasi lebih tinggi: yaitu, demi kasih menuju pada Kasih (Allah adalah Kasih). 

Egoisme menghambat tujuan itu karena manusia mencari diri sendiri, kepuasan sendiri, memakai orang lain untuk kepuasannya tanpa memperhatikan, menghargai, menghormati orang lain sebagai pribadi. Kalau begitu seksualitas manusia turun ke tingkat binatang – dan lebih rendah dari pada binatang - karena kalau manusia mendewakan nikmat dan kepuasan sendiri, dia dapat membuat hal-hal yang jahat dengan sengaja. Dia menghina diri sendiri yang sejati, luhur dan mulia.  Lalu menjadi malu dengan seksualitas yang sulit dikontrol….   Yang memalukan adalah egoisme yang menyalahgunakan seksualitas yang seharusnya dihayati demi cinta kasih.  Maka perlu pertobatan dari egoisme untuk belajar mencintai. Perlu askesis untuk menghayati anugerah seksualitas dengan murni demi kasih. Askesis itu bukan hanya untuk orang yang selibat melainkan untuk semua orang Kristiani, juga yang menikah.

Kasih yang dihayati dalam pernikahan dan dalam keperawanan adalah dua bentuk hidup, dua cara menghayati panggilan untuk mencinta orang lain. Agar berkembang dalam kedua bentuk itu, kasih perlu komitmen untuk hidup dalam kemurnian, sesuai dengan panggilan hidup masing-masing. Karena kasih berarti pemberian diri, puncaknya adalah kesetiaan dari cinta kasih persahabatan yang mampu memberi diri sampai kesudahan, sampai pengorbanan diri. Ini benar bagi semua panggilan. Kemurnian adalah kekuatan rohani yang membebaskan dari egoisme dan agresi. Kemurnian adalah sikap seseorang yang mampu menghayati pemberian diri. Hal itu mengandaikan bahwa dia telah belajar menerima orang lain, berelasi dengan mereka, sambil menghargai martabat mereka yang berbeda-beda. Kemurnian menjadikan kepribadiannya harmonis, dewasa dan mendamaikan batin. Kemurnian akal budi dan tubuh membantu orang tumbuh dalam penghargaan diri yang sejati dan dalam hormat pada orang lain, karena hati yang murni melihat orang lain sebagai pribadi yang perlu dihormati karena diciptakan menurut gambar Allah dan melalui rahmat, merupakan anak-anak Allah, yang diciptakan kembali oleh Kristus yang memanggil dari kegelapan ke dalam cahaya-Nya yang ajaib.(1Petrus 2:9)

VI.            ANTROPOLOGI BARU BAGI ZAMAN BARU

Kita perlu melihat krisis hidup selibat dalam konteks perubahan zaman yang besar pada abad yang terakhir. Salah satu unsurnya adalah revolusi seksual dan sekaligus kebangkitan wanita kepada suatu kesadaran baru akan diri mereka sendiri serta meningkatnya peranan penting wanita di dalam dunia dan Gereja. Sepanjang sejarah, kaum prialah yang menciptakan budaya, menentukan kebenaran filosofis, belajar dan mengajar teologi, menjalankan usaha perdagangan dan ilmu pengetahuan, membuat wilayah kekuasaan, mengatur bidang politik dan sosial. Keterlibatan wanita sangat sedikit. Dulu tempat wanita di rumah, tidak punya suara dan sangat sedikit hak mereka. Hampir semua budaya dan agama menganggap mereka kurang bermartabat dan tidak pantas memiliki kesetaraan dengan kaum pria. Hal itu diungkapkan juga dalam studi dan visi antropologi: hanya pria sungguh manusia dan posisinya yang dominan dibenarkan. Kaum wanita menderita karenanya dan harus menanggungnya cukup lama.

Kesadaran sosial yang tersebar luas bahwa wanita mempunyai martabat yang sama dengan kaum pria merupakan sesuatu yang baru dan revolusioner. Hal itu merupakan suatu rahmat melalui mana umat manusia sampai kepada suatu pemahaman baru terhadap dirinya sendiri. (Pemahaman ini masih belum sampai pada jutaan orang dan kita mempunyai tanggung jawab dan kewajiban untuk memberi pengertian dan informasi tersebut kepada mereka, baik kaum pria maupun wanita.) Ini bukan hanya permasalahan hak kaum wanita melainkan lebih merupakan suatu tantangan untuk menemukan pengertian yang penuh tentang kemanusiaan.
 
"Kesadaran baru pada kaum wanita membantu kaum pria untuk memperbaiki kriteria mentalitas mereka sendiri, cara mereka memahami diri mereka sendiri, menilai dan menafsirkan tempat mereka dalam sejarah, dalam mengatur hidup mereka, baik pada tingkal sosial, politik, ekonomi, agama maupun Gereja" (Vita Consecrata 57).

Dengan menolak visi antropologi yang didominasi pria, yang menentukan peranan gender yang berbeda sama sekali dan menempatkan kaum wanita sepenuhnya di bawah kuasa pria, terjadi kecenderungan untuk beralih kepada aliran antropologi ‘androgin’ yang mau menyangkal setiap perbedaan penting di antara kedua jenis kelamin dan menyatakan mereka sama dalam segala hal. Dari satu ekstrim kepada ekstrim lain. Hal itu kelihatan sekarang ini dalam mode berpakaian yang sama untuk pria dan wanita, potongan rambut sama, hubungan sex secara bebas dan perkawinan homosexual. Bagaimanapun juga menjadi setara dengan pria tidak berarti wanita harus menjadi sama dengan pria. Menjadi pria atau wanita adalah anugerah yang telah kita terima dari Allah, pencipta kita.   

Pandangan bahwa pria dan wanita secara mutlak berbeda, tidak perlu digantikan dengan pandangan bahwa mereka sepenuhnya sama. Masih ada alternatif yang lain - yaitu antropologi yang diajarkan oleh Paus Yohanes Paulus II - pria dan wanita setara tetapi berbeda satu sama lain dalam komplementaritas, yang berarti mereka saling melengkapi. Dia sangat sadar bahwa umat Kristiani memerlukan pengajaran mendalam tentang antropologi: siapakah manusia – pria dan wanita - menurut pandangan Allah. " Manusia, pria dan wanita, adalah gambar Allah sebagai makhluk relasional, yang menemukan kebenaran dan kepenuhan realisasi dirinya dalam komunio dan pemberian dirinya timbal balik."  Jadi dengan menolak model pembedaan mutlak (dominasi pria) dan juga model kesamaan total (pria dan wanita sama dalam segala hal), kita menemukan model ketergantungan timbal balik dalam keadaan perbedaan satu dengan yang lain di dalam kesetaraan pribadi. 

VII            TEOLOGI TUBUH

Paus Woytila (Johannes Paulus II) mengembangkan suatu revolusi teologal dengan mewartakan Teologi Tubuh, suatu spiritualitas seksual di mana kemampuan berelasi merupakan segi utama bagi jatidiri seorang pria dan wanita.

Kita akan mempelajari “Teologi Tubuh” itu yang diberikan sebagai katekese berturut-turut selama 5 tahun (September, 1979 – November, 1984). Dengan keberanian besar, beliau memberi pengajaran yang agak revolusioner tentang antropologi Kristiani kepada para peziarah dan turis yang berkumpul di halaman Santo Petrus. Maka kita pun harus berani untuk masuk dalam pikirannya, yang tidak selalu mudah, dengan serius dan tekun untuk menerima pesan yang sangat kita perlukan pada zaman modern ini.
Pengajaran itu tidak hanya tentang seksualitas, pernikahan dan keperawanan. Penciptaan kita sebagai maskulin dan feminin adalah fakta dasariah dari hidup manusia maka Teologi Tubuh menawarkan jalan untuk menemukan kembali arti dari seluruh hidup kita. Bagaimana mencapai kebahagiaan dan merealisasikan diri?
Antropologi Kristiani (pengertian akan siapakah kita manusia menurut cahaya wahyu dalam Kristus) sangat perlu kalau kita ingin memahami panggilan hidup: baik panggilan berkeluarga maupun keperawanan demi Kerajaan – dan semua masalah moral yang berkaitan dengan seksualitas dan hidup keluarga – penceraian, aborsi, eutanasia, homoseksualitas dll. Moral tergantung dari pengertian tentang kodrat kita, tentang arti dan tujuan hidup yang menentukan arti tubuh dan bagaimana kita bersikap dengan diri sendiri dan sesama dalam kebenaran. Iman kita adalah bahwa Sang Pencipta telah mewahyukan kepada kita siapakah manusia dan bagaimana hidup menurut martabat kita sebagai gambar Allah yang diciptakan untuk bersatu dengan Dia dalam hidup ilahi dan abadi.

Menurut Yohanes Paulus II, Allah menciptakan tubuh manusia sebagai ‘tanda’ misteri ilahi-Nya sendiri. Maka tubuh adalah teologi – kita belajar tentang Allah dan rencana-Nya bagi kita dari tubuh kita. Kita jangan heran adanya teologi tubuh. Iman Kristiani justru berdasarkan misteri penjelmaan. Sabda telah menjadi daging, maka tubuh adalah bahan teologal. Itulah yang mendasari sakramentalitas perkawinan sebagai jalan keselamatan dan kesucian. Pengetahuan akan martabat pribadi tubuh manusia dan keindahan seksualitas sangat dibutuhkan untuk memahami panggilan keperawanan.
Kita tidak dapat melihat Allah. Dalam Kristus Allah memperkenalkan rahasia-Nya yang terdalam: Allah sendiri adalah pertukaran kasih yang abadi, Bapa, Putera dan Roh Kudus dan Dia bermaksud bahwa kita mengambil bagian dalam pertukaran itu – komunio interpersonal (KGK n.221). Dalam cara tertentu, tubuh manusia memperlihatkan misteri abadi ini melalui keindahan perbedaan seksual dan panggilan kita kepada kesatuan. Yohanes Paulus II menafsirkan seluruh Wahyu Allah sebagai Teologi “Nuptial” (“nuptial” berarti pernikahan). Kitab Suci mulai dengan cerita tentang pernikahan pertama dan berakhir dengan pernikahan eskatologis dalam Kitab Wahyu. Kedua cerita itu dapat dilihat sebagai sandaran buku yang memberitahu apa artinya seluruh Kitab Suci: rencana Allah sejak semula adalah bahwa Dia “mau menikah dengan kita”.
Allah ingin hidup bersama kita dalam pertukaran kasih yang abadi. Kasih pernikahan adalah simbol yang paling sering dipakai dalam Kitab Suci untuk mengungkapkan rencana Allah bagi manusia (lih Hos 2:19). Meskipun gambaran itu tak bisa disamakan dengan pernikahan manusiawi, itulah analogi yang paling tepat. Seksualitas adalah kesatuan di antara dua yang berbeda. Allah berbeda sekali dengan manusia, melampaui kita secara mutlak, tetapi Dia mau bersatu dengan kita. Allah ingin merangkul seluruh ciptaan-Nya ke dalam pelukan kasih melalui persetujuan hati manusia yang bebas. Dia ingin bahwa rencana-Nya begitu jelas dan kentara bahwa Dia “menciptakan manusia menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka”. Kita diciptakan untuk komunio dalam satu daging. Sejak semula kesatuan laki-laki dan perempuan yang menjadi satu daging menubuatkan panggilan kita untuk bersatu dengan Kristus dalam satu Roh untuk selama-lamanya. “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging.”  Dan seperti dikatakan St Paulus, “Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan Gereja”. (Eph 5:31-32).
Jelas itu tidak berarti bahwa Allah bersifat seksual. Kasih pernikahan dipakai hanya sebagai analogi, perbandingan, yang membantu kita mengerti sesuatu tentang misteri ilahi  (see KGK, n. 370).  Misteri Allah tetap transendental dan tidak bisa disamakan dengan analogi apa saja. Tetapi, tidak ada kenyataan manusiawi lainnya yang lebih cocok untuk mengungkapkannya.

VIII            PENGAJARAN YESUS - Mateus 5; 19; 22

Yesus bicara tentang tubuh manusia dan seksualitasnya pada tiga tahap pengalamannya yang berbeda: pada permulaan: keadaan asal sebagaimana kita dikehendaki oleh Allah (Mt 19:3-8); dalam sejarah: pengalaman kita yang dikacaukan oleh dosa tetapi ditebus oleh Kristus (Mt 5:27-28), dalam zaman eskatologis: keadaan kita dalam kebangkitan dengan tubuh yang dimuliakan (Mt 22:23-33). Antropologi Yohanes Paulus II melihat manusia dalam kerangkah luas itu dan melukiskan pengalaman dalam tiap-tiap zaman sebelum dia bicara tentang penghayatan panggilan baik pernikahan maupun keperawanan.

.........
Bapa Suci mulai ajarannya dengan Mateus 19:3-8 yang mengutarakan masalah moral manusia tentang kesetiaan dalam perkawinan. Yesus menyatakan bahwa kita hanya mengetahui apa yang baik dari renungan akan keadaan manusia pada mulanya sebelum ada dosa. Masih ada kontinuitas dengan keadaan semula, dengan maksud Pencipta. Untuk mengerti apa yang baik dan benar, kita harus mencari arti terdalam dari hidup manusia. Tidak mungkin membuat discernment tentang manusia dalam keadaan dosa tanpa referensi akan wahyu tentang bagaimana manusia diciptakan inosen dan utuh. Manusia dalam keadaan ‘Sejarah’ harus mengerti diri dari keadaan asalnya dan dari tujuannya dalam keadaan eskatologis, hidup abadi. Injil Yohanes mengatakan bahwa Yesus tahu dari mana Dia datang dan ke mana Dia pergi, bahwa Ia datang dari Allah dan kembali kepada Allah (Yoh 13:3). Yohanes Paulus II memberi kita sebuah visi Kristiani yang luas dan global agar kami pun dapat tahu asal dan tujuan kita dan mengerti bagaimana hidup di dalam keadadan sekarang ini. Orang biasanya hanya memikirkan hari ini, bukan tidak memikirkan jangka panjang apa lagi dalam perspektif hidup abadi. Akan tetapi hanya dalam perspektif itu, kita bisa melihat hari ini secara gamblang secara gamblang untuk membuat discernment dalam hidup sehari-hari. Kita bisa mengerti hidup, diri sendiri, orang lain, peristiwa-peristiwa.

Yesus bicara tentang semuladan memberi jawaban berdasarkan Kitab Kejadian sebagai Wahyu Allah tentang siapakah manusia. Bab 1-3 dari Kitab Kejadian merupakan renungan umat Israel terhadap pertanyaan–pertanyaan dasar: siapakah manusia? Apa artinya hidup ini? Bagaimana alam semesta dijadikan? Mengapa ada kejahatan? Mengapa ada kematian? Meskipun tulisannya dalam bentuk mitos, teks yang diilhami Allah itu mengandung semua unsur yang diperlukan untuk pengertian yang dalam tentang siapakah manusia.



Refleksi : Apa refleksi anda tentang wahyu Tuhan dalam Kejadian bab 1 dan 2 ? Kita punya bayangan yang keliru, yang belum menjadi ajaran resmi gereja tentang penciptaan dan kesan, bagaimana kita seharusnya menghadapi kitab Kejadian?

Teks ini Notulen Seminar MABRI di Roncalli Salatiga 2 - 5 Maret 2006 dengan narasumber Sr. Marta OCSO